Catatan 100 Hari Dedi Mulyadi–Erwan Setiawan: Banyak Gebrakan, Akar Masalah Terlewatkan

Harian Kuningan – Bertepatan dengan 100 hari kerja pemerintahan Dedi Mulyadi dan Erwan Setiawan, penulis mencoba membuat catatan kritis sebagai pengingat dan kepedulian terhadap masa depan provinsi Jawa Barat. Tepat pada tanggal 20 Februari 2025, Dedi Mulyadi dan Erwan Setiawan resmi disahkan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Jawa Barat periode 2025-2030. Ucapan selamat dari berbagai stakeholder membanjiri ruang media sosial. Sebagian besar masyarakat menyambutnya dengan suka cita menyimpan harapan besar akan perbaikan nasib 50 juta masyarakat Jawa Barat.
Seratus hari pertama adalah masa ujian komitmen bagi Dedi Mulyadi dan Erwan Setiawan. Sejak dilantik, Kang Dedi telah membuat berbagai gebrakan kebijakan yang mampu mengguncang ruang publik, dari larangan wisuda sekolah hingga pengiriman anak “nakal” ke barak militer; dari penutupan tambang ilegal hingga pembentukan Satgas Anti-Premanisme.
Gebrakan-gebrakan itu memang menggugah perhatian hingga menjadi isu nasional, bahkan menimbulkan perdebatan luas. Publik tidak boleh hanya melihat tindakan yang tampak, namun harus tetap kritis menilai substansinya. Disinilah kita patut bertanya, “apakah semua kebijakan ini sejalan dengan arah strategis pembangunan Jawa Barat sebagaimana tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2025–2029?”
Penelusuran terhadap Draft Ranwal RPJMD menunjukkan bahwa tidak semua kebijakan Dedi Mulyadi bergerak dalam rel yang sah secara perencanaan. Kesenjangan antara arah dokumen pembangunan dan praktik kebijakan di lapangan menimbulkan sejumlah persoalan mendasar yang tidak bisa diabaikan begitu saja.
Kebijakan Dalam 100 Hari Kerja Dedi Mulyadi
Dalam seratus hari pertamanya menjabat sebagai Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi mengambil sejumlah langkah kebijakan yang langsung menyita perhatian publik. Keputusan-keputusannya, meski sebagian mendapat pujian karena dinilai tegas dan cepat, juga tak luput dari kritik karena dianggap kontroversial dan kurang mempertimbangkan aspek sosial serta hukum.
Salah satu gebrakan awalnya adalah menutup tambang-tambang ilegal yang beroperasi tanpa izin di Jawa Barat pada tanggal 12 Februari 2025. Aksi ini sempat viral di media sosial, namun tidak berlanjut secara serius. Hingga kini, tercatat masih ada 176 tambang ilegal yang belum ditindaklanjuti. Lebih dari itu, tidak ada solusi nyata yang ditawarkan bagi para pekerja tambang atau upaya legalisasi tambang rakyat, yang menjadikan kebijakan ini tampak lebih simbolik ketimbang solutif.
Langkah lain yang menyedot perhatian adalah kebijakan efisiensi anggaran sebesar Rp5.1 triliun. Meski efisiensi ini dipandang sebagai upaya positif untuk menata keuangan daerah, transparansi dalam menentukan pos-pos penghematan menjadi sorotan. Publik mempertanyakan, sektor mana saja yang dianggap sebagai “belanja tak penting”? Jangan sampai efisiensi ini justru memotong anggaran untuk layanan publik krusial seperti pendidikan dan kesehatan. Bahkan, adanya Pergub Penjabaran APBD Jabar tahun 2025 sampai perubahan ke-tujuh dalam pengelolaan anggaran tersebut semakin memperlihatkan ketidak konsistenan, banyaknya keinginan, banyaknya program kegiatan yang tidak berdasar kepada RPJMD.
Keputusan kontroversial lainnya adalah pembongkaran tempat wisata Hibisc Fantasy di Bogor dan bangunan liar di sekitar Kali Sepak. Tindakan ini dinilai tegas dan cepat dalam menegakkan aturan, tetapi dinilai tebang pilih, minim sosialisasi dan tanpa solusi yang berpihak pada masyarakat terdampak. Pembongkaran tersebut berpotensi menimbulkan dampak sosial, termasuk hilangnya mata pencaharian warga dan rusaknya iklim investasi daerah. Lantas bagaimana tempat wisata serupa yang masih banyak di Jawa Barat melanggar lingkungan?
Di bidang fiskal, Gubernur Dedi Mulyadi juga meluncurkan program pemutihan pajak kendaraan bermotor. Kebijakan ini disambut baik karena membantu masyarakat, namun juga mengandung risiko membentuk kebiasaan menunggak pajak jika tidak disertai edukasi serta insentif bagi wajib pajak yang taat.
Menjelang Lebaran, pemerintah provinsi memberikan kompensasi sebesar Rp3 juta kepada pengemudi becak, delman, dan ojek agar tidak beroperasi selama masa mudik. Meskipun bertujuan mengurai kemacetan, mekanisme penyaluran dana ini dinilai terlalu simbolis dan rentan penyalahgunaan, tanpa menyentuh akar persoalan kesejahteraan para pekerja informal.
Di sisi lain, Gubernur melarang kegiatan penggalangan dana di jalan dengan alasan ketertiban. Meski memiliki dasar yang masuk akal, kebijakan ini dapat meredam semangat solidaritas sosial jika tidak disertai dengan penyediaan alternatif legal yang adil bagi penggalangan dana publik.
Pembentukan Satgas Anti-Premanisme juga menimbulkan polemik. Karena dibentuk di luar struktur resmi, satgas ini dinilai rawan disalahgunakan. Padahal, permasalahan premanisme lebih tepat diatasi dengan pendekatan sosial, seperti pelatihan kerja dan pemberdayaan ekonomi masyarakat.
Kebijakan pelarangan study tour dan wisuda sekolah turut menjadi perbincangan hangat. Tujuannya untuk menghentikan komersialisasi, tetapi pelarangan total dianggap berlebihan. Apalagi pelarangan tersebut terjadi di tengah keterlanjuran perjanjian yang sudah mengeluarkan banyak pembayaran uang muka dari pihak sekolah kepada para event organizer acara, tentu banyak merugikan. Solusi yang lebih proporsional seharusnya aturan tersebut untuk tahun berikutnya atau pembatasan biaya acara wisuda, bukan larangan menyeluruh.
Pada 2 Mei, Gubernur mengeluarkan kebijakan pembebasan ijazah bagi alumni, termasuk dari sekolah swasta. Meskipun secara moral langkah ini tampak membela rakyat kecil, dampaknya justru mengancam kelangsungan operasional sekolah swasta yang selama ini bergantung pada dana tersebut. Tanpa solusi pendanaan yang adil, kebijakan ini bisa berbalik merugikan sistem pendidikan itu sendiri.
Lebih mengkhawatirkan lagi, Gubernur mengirim sejumlah anak bermasalah ke barak militer sebagai bentuk pembinaan. Langkah ini dikritik keras disamping karena menelan anggaran yang cukup besar juga bertentangan dengan prinsip perlindungan anak dan pendidikan yang inklusif. Pendekatan militeristik dikhawatirkan akan menimbulkan trauma psikologis serta melanggar hak anak.
Dalam upaya menjaga keselamatan pelajar, Gubernur melarang siswa membawa sepeda motor ke sekolah. Meskipun bertujuan mulia, kebijakan ini seharusnya diimbangi dengan perbaikan layanan transportasi publik agar para siswa tetap dapat bersekolah dengan aman dan efisien.
Salah satu wacana yang paling memicu perdebatan adalah wacana menjadikan vasektomi sebagai syarat menerima bantuan sosial. Gagasan ini menuai kritik karena dianggap melanggar hak asasi manusia dan bersifat diskriminatif. Bantuan sosial seharusnya diberikan berdasarkan kebutuhan, bukan berdasarkan tekanan atas tubuh individu.
Kemudian, diterapkan pula kebijakan jam malam untuk pelajar. Walau dilandasi niat menjaga ketertiban, penerapan kebijakan ini dikhawatirkan membuka ruang bagi represi atau stigma terhadap anak muda jika tidak diawasi dan dievaluasi dengan cermat.
Sebagai penutup dari rangkaian kebijakan 100 hari, muncul isu “bedol desa” — sebuah istilah yang merujuk pada penunjukan banyak pejabat eks-Purwakarta ke posisi strategis di lingkungan Pemprov Jabar. Langkah ini memunculkan kekhawatiran mengenai rusaknya sistem meritokrasi dalam birokrasi. Ini bukan hanya soal efisiensi administratif, melainkan juga menyangkut etika kekuasaan dan legitimasi moral seorang pemimpin daerah.
Banyak Gebrakan, Minim Perubahan Struktural
Di tengah kebijakan-kebijakan itu, permasalahan struktural Jawa Barat tampak terabaikan. Berdasarkan RPJMD 2025–2029, terdapat lima isu besar yang menjadi akar masalah pembangunan: kerentanan terhadap bencana dan degradasi lingkungan; pertumbuhan penduduk yang tidak diiringi kesiapan SDM; kesenjangan sosial dan kemiskinan; daya saing yang rendah; dan tata kelola birokrasi yang belum akuntabel. Tak satu pun dari kebijakan 100 hari yang secara sistematis menyentuh semua itu.
Di sinilah letak persoalan utama. Saat sektor pertanian, pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur masih tertinggal, perhatian publik justru tersedot pada kebijakan yang lebih mencolok daripada mengakar. Dalam konteks ini, gebrakan 100 hari lebih mirip strategi pencitraan ketegasan daripada upaya reformasi struktural. Ketegasan memang perlu, tetapi tidak cukup. Kecepatan perlu dibingkai dalam perencanaan.
Seratus hari tentu belum cukup untuk menyelesaikan masalah besar. Tetapi ia cukup untuk memperlihatkan arah ke mana pemerintahan ini akan melangkah. Jika dalam 100 hari pertama yang ditampilkan lebih banyak simbol dan reaksi, kita patut khawatir akan pola kepemimpinan yang lebih mengutamakan popularitas ketimbang efektivitas.
Kebijakan-kebijakan seperti penutupan tambang ilegal, efisiensi anggaran, larangan wisuda sekolah, hingga wacana vasektomi sebagai syarat bansos memang mengundang perhatian. Tapi banyak yang tampak hanya reaktif, simbolis, bahkan kontroversial, tanpa didukung kerangka kebijakan yang jelas dan terhubung dengan rencana pembangunan daerah.
Kritik muncul karena kebijakan-kebijakan tersebut tidak menjawab tantangan besar seperti bencana, kemiskinan, ketimpangan wilayah, dan rendahnya mutu pendidikan. Di tengah keterbatasan yang dihadapi masyarakat, kebijakan populis justru jadi panggung utama. Larangan siswa membawa motor tanpa solusi transportasi, atau larangan galang dana tanpa alternatif legal, adalah contoh kebijakan instan yang tidak berkelanjutan. Dalam konteks ini, gebrakan Dedi Mulyadi lebih menggambarkan gaya kepemimpinan yang ingin tampil tegas, ketimbang memimpin perubahan yang mendalam. Padahal, keberanian harus dibarengi dengan perencanaan, data, dan keberpihakan pada kelompok rentan.
Seratus hari adalah permulaan. Tapi permulaan ini penting karena menunjukkan niat dan arah. Jika dalam waktu singkat ini lebih banyak tampil simbolik ketimbang substansial, maka masyarakat perlu waspada. Sebab arah yang keliru di awal, bisa membawa kapal pemerintahan tersesat di tengah jalan.
Kesimpulan
Mengutip salah satu kutipan dari Abraham Lincoln, “Berikan saya 6 jam untuk menebang pohon dan saya akan menggunakan 4 jam pertama untuk mengasah kapak”. Pribahasa ini sesuai dengan apa yang tertulis dalam Ranwal RPJMD sebagai langkah penting dan harus dilaksanakan guna mewujudkan cita-cita untuk Jawa Barat. Langkah tersebut yaitu Gerbang Pancaniti (lima titian), Niti Harti (proses mendengar, melihat, dan mengamati), Niti Surti (proses merasakan dan memahami), Niti Bukti (mengumpulkan data, dan fakta), Niti Bakti (proses pemecahan masalah dan perbaikan), Niti Sajati (tahap inovasi yang mampu menghasilkan kebaruan).
Tidak ada yang salah dengan Gubernur yang tampil cepat, responsif, dan penuh energi. Namun kecepatan harus tetap berjalan dalam koridor perencanaan. Gebrakan tidak boleh menggantikan sistem. Dan popularitas tak bisa menggantikan arah pembangunan yang telah dirancang bersama rakyat, ahli, dan perangkat pemerintah daerah.
RPJMD adalah kompas pembangunan lima tahunan. Ketika kebijakan berjalan di luar kompas ini, maka ia rawan tersesat, sekalipun dilakukan dengan niat baik. Tugas kita sebagai warga dan pemangku kepentingan adalah mengingatkan, bukan mencela. Bahwa pembangunan bukan soal siapa yang paling keras bersuara, tetapi siapa yang paling setia pada cita-cita dan konstitusi pembangunan itu sendiri.
Tabik,
H. Maulana Yusuf Erwinsyah
(Anggota Komisi V DPRD Jawa Barat Fraksi PKB)