OPINI

Pancasila: Api yang (Harus) Tetap Menyala

Oleh: MJ.Wijaya
NU SUDRA

Harian Kuningan – Hari ini, 1 Juni, kita memperingati hari kelahiran Pancasila—ideologi bangsa yang digali dari akar bumi Nusantara sendiri, bukan hasil pinjaman dari Barat maupun Timur. Di tengah dunia yang semakin terpolarisasi oleh fundamentalisme agama dan pasar, Pancasila hadir sebagai jalan tengah: bukan sekadar ideologi, tetapi juga kosmologi kebangsaan yang menjahit keberagaman menjadi kekuatan.

Namun, sebagaimana api, Pancasila bisa padam bila hanya dijadikan slogan. Seperti kata Bung Karno dalam pidato bersejarahnya pada 1 Juni 1945, “Saudara-saudara, saya katakan, kita hendak mendirikan suatu negara ‘semua buat semua’.” Kalimat ini bukan sekadar retorika, tapi landasan etis dari sila pertama hingga kelima.

Pancasila sebagai Etika Publik

Pancasila bukan sekadar dasar negara dalam teks formal; ia adalah etika hidup bersama. Dalam konteks ini, sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa” bukan berarti negara menjadi agamis secara sempit, tapi bahwa fondasi kehidupan publik harus menjunjung moral, bukan sekadar prosedur. Sayangnya, moral sering digadaikan atas nama elektabilitas dan kuasa.

Sila kedua hingga keempat bicara tentang nilai-nilai yang sangat kontekstual: kemanusiaan, persatuan, demokrasi yang arif. Tapi lihatlah hari ini, bagaimana pertarungan politik mereduksi demokrasi menjadi sekadar angka elektoral, dan persatuan hanya ditafsir dari lensa mayoritas.

Api yang Terancam Padam

Ketika oligarki membajak ruang publik, ketika aparat kehilangan empati pada rakyat kecil, ketika korupsi menjadi budaya birokrasi, maka sebenarnya Pancasila tengah dilucuti dari maknanya. Bukan oleh musuh luar, tetapi dari dalam: oleh elite yang menggunakan Pancasila sebagai tameng, bukan cermin.

Yang paling menyedihkan adalah menjadikan Pancasila sebagai alat pembungkam oposisi. Padahal, dalam sejarahnya, Bung Karno merumuskan Pancasila untuk memungkinkan semua anak bangsa—dari santri hingga marhaen, dari saudagar hingga petani—hidup berdampingan tanpa harus menyeragamkan keyakinan, budaya, atau cara berpikir.

Saatnya Membumikan Lagi Pancasila

Pancasila harus dikembalikan ke jalan hidup rakyat. Ia tidak boleh hanya jadi hafalan di sekolah atau jargon upacara. Ia harus menjelma dalam kebijakan publik yang berpihak pada yang lemah, dalam pendidikan yang menumbuhkan empati, dalam ekonomi yang memberi ruang pada keadilan sosial, bukan hanya pertumbuhan.

Sila kelima, “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia,” bukanlah utopia. Ia adalah tugas sejarah yang harus terus diupayakan. Seperti kata Tan Malaka: “Keadilan sosial itu bukanlah pemberian, tapi hasil perjuangan.”

Maka memperingati 1 Juni bukanlah ritual semata. Ia harus menjadi perenungan kolektif: apakah bangsa ini masih setia pada Pancasila sebagai nilai hidup, atau hanya menjadikannya fosil ideologis yang dipuja di bibir tapi dilupakan dalam laku?

Penutup

Pancasila adalah api. Dan tugas kita adalah menjaganya tetap menyala—dengan pikiran yang jernih, hati yang bersih, dan tindakan yang berpihak pada kemanusiaan. Bukan dengan menjadikannya alat kekuasaan, tapi kompas nurani bangsa.

Seperti kata Bung Karno: “Jikalau saya peras yang lima ini menjadi satu, maka dapat saya satu perkataan sebagai inti yang kelima ini. Inti kelima ini ialah gotong-royong.”

Gotong-royong adalah denyut nadi Pancasila. Maka, marilah kita bekerja bersama, berpikir bersama, dan bermimpi bersama—agar Pancasila bukan hanya dikenang, tetapi dihidupi.

Buana panca tengah
1 Juni. 2025

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *