Mencintai KDM Dengan Kritik

Oleh: Didin Gonggong,
Aktivis Warkop
Harian Kuningan – Sebagai pemimpin populis pastinya Kang Dedi Mulyadi (KDM) memiliki banyak penggemar yang cukup besar. Mulai dari level biasa, sedang, sampai kategori panatik. Tanpa harus melakukan survey akademis, hanya lewat beberapa akun media sosial KDM yang beredar luas, sebagian besar masyarakat sudah meyakini bahwa KDM adalah pribadi yang baik yang layak dijadikan pemimpin masa kini bahkan masa depan. Sebab, konten-konten yang dimuat ditiap chanel KDM berisi kegiatan yang terpuji, seperti menolong masyarakat kecil, peduli pendidikan anak terlantar, usaha merawat dan melestarikan lingkungan hidup dan konten konten lainya yang dianggap memiliki nilai-nilai luhur.
Dapat ditebak, bahwa masyarakat luas sangat mencintai KDM setelah melihat konten yang rata rata banyak mendapat like dan komen dukungan. Namun dibalik fenomena itu semua, ada hal lain yang harus menjadi perhatian khusus, teliti dan mendalam. Terkait KDM, beliau bukan Nabi, alias tidak Ma’sum artinya tidak terpelihara dari kesalahan. Dari titik inilah, maka KDM layak untuk dikritik. Sebagus apapun tampilan yang diperlihatkan KDM diberbagai media sosial baik milik pribadinya atau dari pihak lain, itu hanya tampilan cangkang, yang erat kaitanya dengan segi banalitas atau kedangkalan yang kurang menyentuh pada substansi.
Namun, penulis tidak serta merta menuduh KDM tidak tulus dalam melakukan kebaikan. Hanya mengajak kita untuk melihat lebih dalam pada dinamika, struktur, dan implikasi yang lebih luas dari tren fenomena KDM dalam masyarakat digital. Agar bisa menyoroti aspek-aspek yang memang layak dievaluasi berdasarkan fakta dan analisis, bukan sekadar menyerang secara personal. Dari pengamatan penulis, sedikitnya ada dua tokoh penting yang cukup bisa dijadikan referensi dalam mengkritik fenoman KDM.
Pertama, Rocky Gerung. Ia biasa menggunakan pendekatan filosofis dan logis ketika mengkritik suatu fenomena tertentu. Untuk fenomena KDM, penulis menilai bahwa Bung Rocky menyoroti ada “produksi citra” yang dilakukan KDM dan bagaimana hal itu berpotensi mengaburkan problem sesungguhnya, apakah KDM sedang menyelesaikan masalah, atau hanya memproduksi content yang menyenangkan mata. Disisi lain, ada Ono Surono sebagai politisi PDIP. Ia biasa menyoroti aspek kelembagaan dan sistematisasi.
Penulis menganggap, Ono mengkritisi pendekatan personal KDM, meskipun baik, namun tidak bisa menggantikan sistem kerja pemerintahan yang terstruktur dan terukur. Ia juga mempertanyakan bagaimana anggaran publik digunakan dalam kegiatan-kegiatan KDM, dan apakah ada sinkronisasi dengan program-program pembangunan daerah. Kedua tokoh itu telah memberikan contoh cukup baik bagaimana caranya mengkritisi ide dan langkah seseorang tanpa kebencian dan tanpa menyerang pribadi seseorang. Kemudian mengajak masyarakat untuk melihat lebih dalam sesuatu hal agar tidak menjadi masyarakat yang memuja sesuatu secara berlebihan.
Boleh mencintai seseorang, namun tetap diimbangi dengan sikap kritis. Karena sistem demokrasi yang dianut di Indonesia merestui sikap kritis agar melahirkan keseimbangan. Akhirnya ijinkan penulis mengutip kata kata fenomenal yang biasa diucapkan Gus Miftah, “manusi tempatnya salah, wajarlah bukan Nabi boy”.