Hari Kebangkitan Nasional: Ironi Bangsa yang Tak Pernah Bangkit

Oleh: MJ.Wijaya
NU SUDRA
Setiap 20 Mei, negeri ini sibuk memperingati Hari Kebangkitan Nasional dengan pidato-pidato megah dan jargon-jargon kosong. Seakan-akan dengan sekadar mengingat nama Boedi Oetomo dan menyebut “nasionalisme”, bangsa ini bisa ditebus dari keterpurukan yang kronis dan berulang. Padahal, kenyataannya, kita lebih sering bangkit untuk jatuh kembali—dalam politik yang transaksional, ekonomi yang tak berdaulat, pendidikan yang menjauh dari akal, dan budaya yang menjadi tontonan, bukan tuntunan.
Kebangkitan macam apa yang dirayakan ketika anak-anak bangsa dicekoki algoritma tik-tok, bukan teks-teks Tan Malaka? Di saat ratusan triliun uang negara menguap dalam proyek mercusuar Ibu Kota baru, sementara petani bunuh diri karena harga gabah tak masuk akal. Ironi demi ironi seolah tak cukup menggugah kesadaran kolektif, bahwa kebangkitan yang diperingati ini lebih mirip misa nostalgia daripada momentum revolusi.
Boedi Oetomo, yang kerap dipuja sebagai simbol awal kebangkitan nasional, pada hakikatnya adalah gerakan elitis priyayi Jawa. Ia lahir dari kegelisahan kultural, namun dibatasi oleh lingkup etnis dan kelas. Dalam analisis kritis, sebagaimana dicatat oleh Benedict Anderson, nasionalisme Indonesia tak pernah lahir dari ide kesetaraan sejati, tetapi dari “imaji bersama” yang rapuh—yang kini makin terfragmentasi oleh kepentingan kapital dan politik identitas.
“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya,” kata Bung Karno. Namun ironisnya, bangsa ini lebih senang membangun patung pahlawan ketimbang meneruskan gagasannya. Kita rayakan kebangkitan, tapi takut pada pemikiran-pemikiran yang mengguncang status quo. Tan Malaka dikubur dua kali: jasadnya dan gagasannya. Sutan Sjahrir dilupakan, sementara para koruptor dielu-elukan di baliho-baliho.
Apa makna kebangkitan di negeri yang membiarkan mayoritas buruhnya digaji murah, pendidikannya diobral menjadi bisnis, dan petingginya lebih sibuk memburu kekuasaan daripada merancang peradaban? Ketika pasar lebih dihormati daripada kitab, dan influencer lebih dipercaya ketimbang intelektual?
Filsuf Prancis, Michel Foucault, pernah mengingatkan bahwa kekuasaan bekerja lewat wacana. Maka tak heran jika kebangkitan kita hanya sebatas retorika, karena negara ini tak pernah sungguh-sungguh mengubah wacana budaknya: dari tunduk pada kolonialisme Belanda, ke tunduk pada kolonialisme pasar global.
Hari Kebangkitan Nasional bukan hari raya. Ia adalah lonceng pengingat bahwa kita belum benar-benar bangkit. Kita masih menjadi bangsa yang sibuk berpura-pura waras di tengah rumah sakit besar bernama Republik. Bangsa yang bangga akan masa lalu, namun gamang menyongsong masa depan karena terlalu malas menghadapinya dengan ilmu dan etos.
Maka jika ingin sungguh-sungguh bangkit, jangan lagi sekadar membacakan sejarah. Bacalah kenyataan. Jangan sekadar mengibarkan bendera, kibarkan keberanian berpikir. Jangan sekadar membanggakan pahlawan, hiduplah seperti mereka: melawan, menulis, menggugat, dan kalau perlu—mengguncang.
Karena kebangkitan yang sejati bukanlah upacara. Ia adalah perlawanan terhadap semua hal yang membunuh akal dan jiwa bangsa.
PARIS (Parang Tritis)
20 Mei 2025.