OPINI

BENARKAH BARAK MILITER SAMA DENGAN FAMILY CENTER FINLANDIA?

Dr. Hurriyah
Direktur Puskapol Universitas Indonesia

Harian Kuningan – Di linimasa medsos rame postingan pro kontra soal kebijakan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi (sekarang populer disebut KDM), yang mengirim anak-anak bermasalah ke barak militer (tentu saja, tidak gratis. Pemberitaan media massa menyebut Pemprov Jabar menganggarkan 6 miliar sebagai imbalan jasa TNI).

Di salah satu potongan video yang beredar, ada seseorang yang mengkritik kebijakan KDM karena tidak paham dengan filosofi pendidikan. Ia kemudian membandingkan dengan sistem pendidikan di negara-negara maju, termasuk Finlandia –yang konon ditasbihkan sebagai negara paling top urusan kualitas pendidikan.

Yang menarik, ada satu video lain dari seorang netizen yang tinggal di Finlandia dan berprofesi sebagai guru TK. Ia merespon video kritik tersebut dengan memaparkan pengamatannya terhadap model family center di Finlandia (di mana para siswa bermasalah dikirim ke sekolah asrama khusus dan diantar jemput dengan bus yang dijaga polisi). Ia kemudian membandingkannya dengan model barakisasi ala KDM, dan menilai bahwa keduanya “serupa tapi tak sama”.

Video respon itu juga mendapat banyak komentar, yang rata-rata isinya mendukung kebijakan KDM sambil menyindir opini si bapak yang mengkritik kebijakan KDM. Entah komentar-komentar itu genuine atau mobilised and coordinated response, saya ngga tau persis, dan ngga pengen bahas itu juga 🙂

Saya cuma ingin membahas perbandingan dan simpulan yang dibuat oleh di guru TK, yang jelas-jelas salah kaprah.

Family center ngga sama dengan barak militer. Sifatnya rehabilitatif, bukan punitif.
Mereka tidak dihukum, tetapi diberi tempat pendidikan khusus agar perilakunya pelan-pelan bisa dipulihkan. Guru-guru sekolah khusus ini, saya yakin pasti dibekali keahlian khusus agar mampu menangani anak-anak bermasalah. Pendekatannya sama dengan pusat rehabilitasi: bertujuan memulihkan.

Dan sudah pasti, ngga ada hubungannya antara sistem rehabilitasi anak-anak bermasalah dengan kemajuan kualitas pendidikan Finlandia.

Terus kenapa perlu melibatkan polisi?
Ya untuk menjaga keamanan, ketertiban, dan perlindungan kepada warga negara.
Makanya di negara-negara maju, warga negara yang merasa keamanannya terancam, lapor polisi. Minta bantuan dan perlindungan (kalo di Indonesia, kayaknya beda ceritanya :))

Terus apa bedanya sama militer?

Jelas beda.
Polisi itu sipil, dijalankan oleh sipil, menjalankan fungsi sipil.
Militer dijalankan khusus oleh orang-orang yang melepas hak sipilnya (memilih dalam pemilu, misalnya) untuk bisa mendapat hak istimewanya (memegang senjata, punya sistem peradilannya sendiri, dll).
Keduanya adalah aparat negara, tapi fungsinya berbeda. Polisi menjaga keamanan, militer menjadi alat pertahanan negara.

Di Indonesia, politisi/pemimpin sipil yang berwatak militer dan militer yang merangsek masuk ke fungsi-fungsi sipil itu sama-sama salah dan bermasalah. Sejarah kita mencatat kedua institusi itu sering digunakan sebagai instrumen kekerasan oleh negara dan bisnis untuk mengintimidasi dan merepresi warga negara. Gak jarang kedua institusi malah ribut saling bersaing, bahkan tawuran karena urusan berebut lahan bisnis atau masalah-masalah sepele lainnya. Gak percaya? coba aja cari beritanya di arsip media massa 🙂

Jadi menurut saya, mengirim anak-anak bermasalah ke tempat yang salah nggak akan menyelesaikan masalah. Malah berpotensi menciptakan masalah baru: keluar barak jadi berasa jagoan, dan makin terbiasa dengan budaya kekerasan.

Budaya militerisasi ini bukan barang baru di Indonesia. Sejak beberapa tahun belakang, makin banyak organisasi sipil yang menggandrungi main tentara-tentaraan, sementara tentara benerannya justru sibuk cari kerjaan sampingan dan gagal menjaga pertahanan dan kedaulatan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *