OPINI

Menjadi Pelita dalam Kabut: Nasib Guru-Guru Islam di Tengah Hiruk-Pikuk Zaman di Jawa Barat

Guru bukan hanya profesi, tapi peradaban yang hidup dalam tubuh manusia.” Buya Hamka

Harian Kuningan – Di tengah hiruk-pikuk zaman, ketika digitalisasi merambah hingga pelosok desa dan industri merangkak menuju otomatisasi, ada sekelompok penjaga peradaban yang nyaris tak terdengar suaranya: para guru Islam. Di Jawa Barat—provinsi dengan jumlah lembaga pendidikan Islam terbanyak di Indonesia—guru-guru ini terus berjuang di ruang-ruang kelas yang sering kali tak memadai, dengan honor di bawah garis kelayakan, dan harapan yang nyaris padam.

Jawa Barat dan Denyut Pendidikan Islam

Menurut data Kementerian Agama RI tahun 2024, Jawa Barat memiliki lebih dari 24.000 madrasah dan pesantren, serta sekitar 400.000 guru yang tersebar di lingkungan pendidikan Islam formal dan nonformal. Dari jumlah itu, hampir 60% adalah guru honorer, yang mayoritas tidak mendapatkan gaji layak dan jaminan kesejahteraan.

Honor bulanan banyak guru madrasah swasta di pedalaman Jawa Barat berkisar antara Rp300.000 hingga Rp700.000—jumlah yang bahkan tak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimal. Dalam laporan Komnas HAM (2023), tercatat bahwa banyak guru madrasah swasta di kabupaten seperti Cianjur, Garut, dan Tasikmalaya bekerja sambil menjadi buruh tani, ojek daring, hingga pedagang kecil, demi menyambung hidup.

Namun di tengah keterbatasan itu, mereka tetap hadir. Mereka mengajarkan tajwid, tauhid, dan tasawuf, membimbing anak-anak desa mengenal Al-Qur’an dan akhlak. Mereka adalah mata rantai dari tradisi keilmuan Islam yang telah berlangsung berabad-abad—dari surau kecil di Minangkabau hingga pesantren salaf di Tasikmalaya.

Menjadi Guru: Antara Panggilan dan Pengabaian

Dalam pandangan eksistensialis Albert Camus, “Pekerjaan yang tak dimaknai adalah kerja yang absurd.” Tapi bagi guru-guru Islam, absurditas itu dihadapi setiap hari: menjalani panggilan suci dalam sistem yang tak memuliakan mereka. Filsuf Muslim kontemporer, Fazlur Rahman, pernah menyatakan bahwa “reformasi pendidikan Islam harus dimulai dari reformasi posisi sosial dan intelektual guru.”

Namun di Jawa Barat, guru-guru Islam justru menjadi korban ketimpangan struktural. Mereka terjepit dalam birokrasi pendidikan yang memprioritaskan output kuantitatif—nilai Ujian Nasional, akreditasi, dan digitalisasi—alih-alih memperkuat karakter dan nilai spiritual. Tak sedikit pula program sertifikasi dan bantuan pemerintah yang luput dari guru-guru pesantren tradisional yang tidak memiliki legalitas formal.

Pendidikan Islam yang Didelegitimasikan

Dalam sistem yang semakin sekuler dan pragmatis, pendidikan Islam sering kali hanya dijadikan pelengkap kurikulum atau sekadar identitas simbolik. Guru-guru agama dipandang “kurang strategis,” tidak “marketable,” dan karenanya kurang dihargai. Padahal, mereka memegang peran kunci dalam membentuk karakter generasi muda, sebagaimana dikatakan oleh Al-Attas: “The loss of adab is the beginning of the fall of a civilization.”

Jawa Barat, meskipun menjadi jantung pendidikan Islam, belum sepenuhnya menjadikan guru agama sebagai aset strategis daerah. Dalam APBD 2023, alokasi pendidikan mencapai 20% sesuai amanat konstitusi, namun hanya sebagian kecil mengalir ke madrasah dan pesantren, apalagi untuk peningkatan kualitas guru agama.

Jalan Sunyi, Tapi Bermakna

Menjadi guru Islam hari ini berarti berjalan di jalan sunyi. Jalan yang tak diliput media, tak dilirik politik, tapi menyimpan bara makna. Dalam kerangka Martin Buber, pendidikan adalah relasi I and Thou—antara guru dan murid, dalam kehadiran yang utuh, bukan sekadar instrumen akademik. Guru Islam di pelosok Jawa Barat mungkin tidak memiliki sertifikat TOEFL, tapi mereka menyentuh jiwa murid-muridnya dengan sabar, tulus, dan istiqamah.

Beberapa inisiatif lokal patut diapresiasi. Di Kabupaten Bandung dan Kuningan, misalnya, ada gerakan komunitas yang memberikan insentif kolektif dari zakat profesi untuk guru ngaji. Namun itu belum cukup. Negara harus hadir lebih sistemik—bukan hanya dalam bentuk honor tambahan, tetapi pengakuan sosial, pelatihan berkelanjutan, dan perlindungan hukum.

Epilog: Merawat Cahaya di Tengah Gelap

Hari Pendidikan Islam seharusnya bukan hanya perayaan, tapi refleksi atas nasib para penjaga cahaya itu. Guru-guru Islam di Jawa Barat tidak butuh pujian sesaat, tapi kebijakan berkelanjutan. Sebab merekalah yang menjaga nyala nilai di tengah kabut zaman.

Dan jika benar bahwa peradaban dimulai dari ruang kelas, maka masa depan Jawa Barat, dan Indonesia, sedang bertumpu di pundak mereka yang mengajar dengan gaji seadanya, tapi cinta yang tak terbatas.

Oleh: MJ.Wijaya

NU SUDRA

Alas mentaok.

5 mei 2025

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *