Merayakan Tubuh, Menolak Dogma: Sebuah Renungan Filosofis atas Hari Anti-Diet Internasional
Oleh: MJ.Wijaya.
NU SUDRA
Setiap tanggal 6 Mei, dunia memperingati International No Diet Day (Hari Anti-Diet Internasional)—sebuah momentum yang tampak remeh, namun sejatinya menyimpan kritik mendalam terhadap hegemoni estetika, industri kecantikan, dan relasi kuasa atas tubuh. Didirikan pada tahun 1992 oleh Mary Evans Young, seorang aktivis asal Inggris yang pernah mengalami anoreksia, hari ini menjadi penanda penting dalam gerakan tubuh positif (body positivity) dan perlawanan terhadap budaya diet (diet culture) yang menormalisasi rasa malu atas tubuh sendiri.
Tubuh dalam Cengkeraman Kapitalisme Estetik
Dalam paradigma kapitalisme mutakhir, tubuh bukan hanya entitas biologis, melainkan komoditas yang diobjektivikasi dan dieksploitasi. Budaya diet, yang menjanjikan “kesempurnaan” tubuh melalui pengendalian makan dan konsumsi produk tertentu, merupakan mesin industri bernilai miliaran dolar. Jean Baudrillard menyebut ini sebagai “simulakra” estetika: tubuh yang ideal bukanlah tubuh nyata, tetapi ilusi yang diciptakan dan direproduksi tanpa henti oleh media, iklan, dan algoritma media sosial.
Dari sini, kita melihat bagaimana tubuh manusia dikonstruksi sebagai proyek yang tak pernah selesai. Diet bukan lagi sekadar soal kesehatan, melainkan menjadi praktik disipliner atas tubuh, sebagaimana dipaparkan oleh Michel Foucault. Melalui mekanisme normalisasi, masyarakat menciptakan standar tubuh tertentu sebagai ideal, dan menghukum secara sosial tubuh yang menyimpang darinya—baik secara verbal, simbolik, maupun sistemik.
Filosofi Tubuh dan Kebebasan Eksistensial
Secara filosofis, Hari Anti-Diet Internasional adalah pengingat bahwa tubuh bukanlah sesuatu yang harus ditaklukkan, melainkan dijalani. Dalam filsafat eksistensialisme, terutama menurut Simone de Beauvoir, tubuh perempuan telah lama menjadi objek “yang lain” (the Other) dalam relasi patriarkal. Diet, dalam konteks ini, menjadi bentuk internalisasi penindasan yang mengaburkan otonomi dan kebebasan eksistensial.
Martin Heidegger mengajarkan kita bahwa manusia adalah Dasein—ada yang sadar akan keberadaannya. Menolak diet dalam konteks Hari Anti-Diet bukan berarti menolak perawatan atau kesehatan, tetapi menolak pandangan bahwa nilai diri ditentukan oleh angka pada timbangan. Ini adalah afirmasi atas eksistensi tubuh dalam segala keberagamannya: gemuk, kurus, berlekuk, datar, muda, tua—semuanya valid sebagai bentuk keberadaan.
Kesehatan: Paradigma Alternatif
Gerakan Health at Every Size (HAES) menawarkan narasi alternatif yang menolak hubungan deterministik antara berat badan dan kesehatan. Studi-studi kontemporer, seperti yang dipublikasikan oleh American Journal of Public Health, menunjukkan bahwa stigma terhadap obesitas justru memperburuk kondisi kesehatan mental dan fisik. Diet ketat yang berbasis restriksi seringkali berujung pada siklus kegagalan dan rasa bersalah, yang lebih berbahaya daripada berat badan itu sendiri.
Hari Anti-Diet Internasional mengundang kita untuk memikirkan ulang definisi sehat: bukan semata-mata keterukuran secara biologis, melainkan juga keberdayaan secara psikologis dan sosial. Sehat adalah mampu berdamai dengan tubuh, bukan membencinya.
Tubuh sebagai Ruang Etis
Hari Anti-Diet Internasional bukan ajakan untuk hedonisme atau antikesehatan, melainkan seruan etis untuk mencintai tubuh sebagai medan pengalaman eksistensial yang sah. Ia mengajak kita untuk melawan standar estetika yang eksklusif, merayakan keberagaman bentuk tubuh, dan membangun narasi baru yang tidak berakar pada rasa malu, tetapi pada kasih sayang terhadap diri.
Dalam dunia yang terus-menerus memonopoli definisi tentang “cantik” dan “layak,” Hari Anti-Diet adalah tindakan filosofis: menuntut kebebasan tubuh dari kolonialisasi simbolik dan kapitalistik. Karena pada akhirnya, tubuh bukan proyek untuk diperbaiki, melainkan ruang untuk dihuni dengan penuh penerimaan.
Alas mentaok.
6 Mei 2025.