Cinta dan Ketakpastian Eksistensial: Tafsir Filosofis atas Sebuah Luka Abadi

Oleh: MJ.Wijaya (NU SUDRA)
Cinta adalah suatu ruang yang dibentuk oleh dua yang merindukan keutuhan, namun sadar akan keterpisahan yang tak tersembuhkan.
Simone Weil
Cinta sebagai Medan Filsafat
Filsafat, sejak masa awalnya, tidak hanya mengurusi kebenaran dan logika, melainkan juga hasrat, kerinduan, dan kekacauan batin manusia. Salah satu tema yang terus menggema dalam sejarah pemikiran adalah cinta—sebuah pengalaman manusiawi yang terlalu dalam untuk sains, terlalu kompleks untuk moralitas, namun terlalu mendesak untuk diabaikan.
Dalam cinta, manusia mempertaruhkan otonominya; ia membuka dirinya bagi yang lain, dan justru di situ muncul paradoks eksistensial: kita ingin menyatu, tetapi tetap ingin menjadi diri sendiri. Cinta bukan sekadar perasaan; ia adalah eksistensi itu sendiri yang meledak ke luar batas rasionalitas.
Plato dan Kerinduan akan Kesempurnaan
Plato, dalam Symposium, mengawali tradisi filosofis tentang cinta dengan membedakannya dari hasrat fisik semata. Ia menyebut cinta sebagai eros, kekuatan yang menggerakkan jiwa dari dunia indrawi menuju dunia ide. Di sana, cinta adalah nostalgia akan dunia yang hilang—kerinduan akan bentuk sempurna yang tak pernah benar-benar kita genggam.
Bagi Plato, mencinta berarti mendaki tangga kontemplatif: dari tubuh yang menawan, ke jiwa yang luhur, hingga akhirnya kepada bentuk keindahan itu sendiri. Namun dalam kerangka ini, cinta menjadi sejenis luka metafisis: kita mencinta karena kita tidak utuh, dan kita tidak akan pernah benar-benar utuh. Cinta adalah pengakuan atas keterbatasan kita sebagai manusia.
Kierkegaard dan Cinta sebagai Pilihan Tragis
Søren Kierkegaard, bapak eksistensialisme Kristen, menawarkan tafsir cinta yang jauh lebih tragis. Dalam Works of Love, ia membedakan antara cinta sebagai kewajiban etis (agape) dan cinta sebagai hasrat individual (eros). Bagi Kierkegaard, cinta sejati bukanlah euforia, melainkan penderitaan yang sadar.
Ia menulis: “To love another person is to see the face of God”—namun cinta itu menuntut pengorbanan diri, bahkan kesiapan untuk ditolak. Dalam eksistensialisme Kierkegaard, cinta adalah pilihan yang menakutkan karena selalu disertai kemungkinan kehancuran.
Beauvoir dan Asimetri dalam Cinta
Simone de Beauvoir, pemikir feminis dan eksistensialis, melihat cinta dari perspektif relasi kuasa. Dalam The Second Sex, ia menyoroti bagaimana perempuan dididik untuk menjadikan cinta sebagai keseluruhan eksistensinya, sementara laki-laki menjadikannya bagian dari proyek kebebasan pribadi.
“Perempuan belajar mencintai sebelum ia belajar menjadi dirinya sendiri,” tulis Beauvoir. Maka cinta, alih-alih menjadi ruang pembebasan, kerap menjelma penjara yang dihias manis. Di sini, cinta bukan lagi sekadar dilema ontologis, melainkan juga politis.
Camus dan Cinta dalam Dunia Absurditas
Albert Camus, dengan nada melankolis yang khas, menempatkan cinta dalam semesta absurditas. Dalam dunia yang tak menawarkan makna tetap, cinta menjadi semacam pemberontakan halus: kita tetap memilih mencinta, meski tahu bahwa yang dicinta akan pergi, berubah, atau mati.
Dalam novelnya The Plague, Camus menulis bahwa “Satu-satunya cara menghadapi wabah adalah dengan mencintai.” Cinta, bagi Camus, adalah satu-satunya harapan manusia di dunia yang sunyi dan acuh. Sebuah pelukan yang tidak bisa mengubah dunia, tetapi bisa membuatnya terasa layak ditinggali.
Mencintai dalam Ketidaksempurnaan
Cinta, dalam terang filsafat, adalah medan rawan di mana manusia menggugat makna hidup dan menerima luka sebagai bagian dari pertumbuhan. Ia bukan formula untuk kebahagiaan, melainkan kesediaan untuk berada dalam ketakpastian bersama yang lain.
Sebagaimana ditulis oleh Rainer Maria Rilke, “Cinta adalah pekerjaan rumah bagi semua orang.” Kita mencintai, bukan karena kita paham cinta, tetapi karena kita bersedia hidup dalam ketidaktahuannya. Dan di situlah, mungkin, cinta menemukan kebijaksanaannya yang paling dalam: bukan dalam kemenangan memiliki, melainkan dalam kerelaan merawat sesuatu yang bisa sewaktu-waktu hilang.
Alas mentaok
4 Mei 2025