NewsOPINI

Ketika Gubernur Menjadi Raja: Kritik atas Pelampauan Wewenang Dedi Mulyadi

Penulis : Anonim

Harian Kuningan – Dedi Mulyadi bukan tipe pemimpin yang duduk di belakang meja. Sejak menjabat Gubernur Jawa Barat, gaya blusukan-nya langsung menyita perhatian publik. Ia hadir di tengah rakyat, berbicara langsung, dan mengeksekusi kebijakan tanpa banyak basa-basi. Tapi di balik pujian terhadap ketegasannya, kita mesti bertanya dengan serius: apakah semua yang dilakukan Kang Dedi itu sah secara kewenangan?

Sistem pemerintahan kita bukan milik satu orang. Indonesia adalah negara hukum. Otonomi daerah dibentuk bukan untuk dipimpin dari satu komando provinsi, tapi dari kerja bersama antara pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Ketika seorang gubernur mulai mengatur sampai urusan operasional sekolah dasar dan menertibkan trotoar kota, maka alarm demokrasi patut dibunyikan.

Dedi Mulyadi Rajanya Surat Edaran, bukanya bikin Pergub

Dalam berbagai kebijakan yang kontroversial—mulai dari jam masuk sekolah pagi, penghapusan PR, hingga larangan pelajar keluar malam—Dedi Mulyadi memilih menggunakan Surat Edaran (SE) ketimbang menyusun Peraturan Gubernur (Pergub) sebagai dasar hukum.

Padahal, menurut hukum administrasi negara, Surat Edaran tidak memiliki kekuatan mengikat secara hukum, apalagi bila menyangkut hak dan kewajiban publik. SE hanya bersifat internal-administratif dan tidak dapat dijadikan dasar sanksi atau tindakan hukum kepada masyarakat luas.

Prof. Denny Indrayana pernah menegaskan:

“Surat edaran itu bukan sumber hukum formal. Ia tidak setara dengan peraturan perundang-undangan. Kalau dijadikan dasar untuk menghukum atau mengatur warga, maka itu pelanggaran prinsip legalitas.”

Dalam teori Hans Kelsen tentang stufenbau der rechtsordnung (hierarki norma hukum), sebuah norma hanya sah jika dibuat berdasarkan norma di atasnya. Maka, jika Gubernur ingin membuat aturan yang berdampak ke publik atau pemda lain, seharusnya bentuknya Peraturan Gubernur (Pergub), bukan SE.

Analisis: Ketika kebijakan yang berdampak luas—seperti jam sekolah, pembatasan aktivitas pelajar, hingga sanksi SP1—disampaikan hanya lewat SE, maka itu adalah bentuk penyiasatan hukum. Ini bisa dianggap sebagai teknik bypass regulasi yang secara administratif lemah dan secara politik menumpulkan kontrol kelembagaan, terutama dari DPRD.

Dengan menghindari penyusunan Pergub, Dedi Mulyadi bisa menghindari evaluasi dari Kemendagri, uji publik, dan sinkronisasi dengan pemda kabupaten/kota. Praktik ini jelas mengganggu semangat tata kelola pemerintahan yang demokratis dan berbasis hukum.

Sekolah Jam 06.30 dan PR Dihapus: Gubernur atau Kepala Sekolah?

Kebijakan paling awal Dedi adalah mengatur jam masuk sekolah menjadi pukul 06.30 dan menghapus PR (pekerjaan rumah). Tujuannya jelas: membentuk disiplin dan memberi waktu bagi anak-anak membantu orang tua. Masalahnya, kebijakan ini diberlakukan pada semua jenjang, termasuk SD dan SMP.

Padahal dalam UU No. 23 Tahun 2014, urusan pendidikan dasar adalah kewenangan kabupaten/kota. Gubernur tidak berhak mengatur langsung pelaksanaannya, apalagi tanpa dasar hukum seperti peraturan daerah atau keputusan bersama. Prof. Muradi dari Unpad bahkan menyebut, “Jika gubernur mulai mengatur teknis operasional pendidikan dasar, lalu kepala daerah kota/kabupaten kerjanya apa?”

Jam Malam Pelajar: Sanksi Tanpa Dasar?

Kebijakan berikutnya: jam malam bagi pelajar. Anak di bawah umur dilarang berkeliaran setelah pukul 21.00 WIB, dengan ancaman SP1 dari sekolah. Lagi-lagi niatnya baik, tapi eksekusinya problematik.

Tanpa Perda kabupaten/kota, sanksi jam malam ini tidak punya landasan hukum. Komnas HAM menyatakan bahwa pembatasan aktivitas anak harus berdasarkan hukum, bukan surat edaran. Apalagi jika dikaitkan dengan sanksi administratif. Ini berisiko menjadi pembatasan hak konstitusional warga negara.

Sekolah Barak: Solusi atau Rezim Baru?

Dedi Mulyadi juga menggagas “sekolah barak” untuk siswa bermasalah. Puluhan pelajar dikirim ke lokasi pelatihan semi-militer untuk didisiplinkan. Tapi KPAI menemukan banyak kejanggalan:

  • Anak tak diberi tahu alasan pengiriman.
  • ⁠Tidak ada SOP resmi.
  • ⁠Tidak semua pembina paham hak anak.

Tanpa Pergub atau aturan jelas, program ini tidak hanya problematik secara administratif, tapi juga melanggar prinsip perlindungan anak. KPAI dengan tegas menyatakan: “Negara tidak bisa memperlakukan anak-anak seperti narapidana.”

Tegur-Teguran via Media: Pembinaan atau Panggung?

Kang Dedi juga kerap menegur kepala daerah secara terbuka:

  • Bupati Bandung ditantang hapus pungutan sekolah.
  • Wali Kota Depok ditegur soal mobil dinas untuk mudik.
  • Istri Wali Kota Bekasi disindir karena mengungsi saat banjir.

Teguran seperti ini dilakukan di depan kamera, media, bahkan kanal YouTube pribadi. Padahal dalam kerangka otonomi daerah, pembinaan semestinya dilakukan secara administratif, tertutup, dan terhormat. Sugiyanto, pengamat otonomi daerah, menyebut: “Gubernur bukan panglima yang bisa menampar bupati di depan umum.”

Menertibkan Trotoar Kota? Bukan Tugas Gubernur

Dalam kasus penertiban PKL di kawasan Pasteur, Kota Bandung, Gubernur langsung memimpin penertiban trotoar. Ini memicu kekaguman, tapi juga kegelisahan. Karena secara hukum, penataan ruang kota adalah kewenangan pemerintah kota, bukan provinsi. Ketika gubernur masuk langsung tanpa koordinasi, maka kepala daerah tingkat II jadi terlihat tak berfungsi.

Bankeu Dipangkas Sepihak: Di Mana Musyawarah?

Puncak dari sentralisasi ini terjadi saat Dedi memangkas bantuan keuangan untuk kabupaten/kota dalam APBD 2025. Tanpa diskusi dengan DPRD, dan tanpa pemberitahuan ke pemda, ratusan program daerah—dari jalan desa hingga sanitasi—dicoret dengan alasan efisiensi.

Wakil Ketua DPRD Jabar, Ono Surono, menyebut:

“Kalau memang ada yayasan bodong, verifikasi. Jangan semua dipukul rata. Ini mencederai semangat kolektif APBD.”

Padahal, bankeu bukan hadiah gubernur. Itu hasil dari proses perencanaan partisipatif daerah. Menghapusnya tanpa verifikasi dan tanpa musyawarah adalah penghinaan terhadap sistem perencanaan demokratis.

Dari Niat Baik ke Kekuasaan Mutlak

Kita tidak meragukan niat baik Dedi Mulyadi. Tapi dalam negara hukum, niat baik tidak boleh menggantikan prosedur. Ketika semua keputusan diambil dari atas, kepala daerah lain hanya menjadi figuran. Demokrasi daerah mati pelan-pelan, digantikan populisme administratif.

Gubernur adalah koordinator, bukan komandan. Ia bukan panglima daerah, tapi jembatan antara pusat dan kabupaten/kota. Bila ia mengambil alih semua, maka yang hadir bukan kecepatan, tapi kesewenangan.

Penutup: Demokrasi Butuh Hukum, Bukan Sekadar Figur Kuat

Jawa Barat tidak butuh pemimpin yang menyelesaikan semua hal sendiri. Kita butuh pemimpin yang tahu di mana harus berhenti. Hukum dibuat untuk membatasi kekuasaan, bukan untuk dilangkahi oleh mereka yang merasa paling benar.

Jika semua kebijakan lahir dari rasa “ingin membantu rakyat” tanpa peduli aturan, maka yang kita hadapi bukan reformasi, tapi bahaya baru: ketika hukum tunduk pada popularitas.

Demokrasi tak dibangun oleh tangan yang kuat, tapi oleh kekuasaan yang dibatasi oleh aturan. Mari jaga agar pemimpin tak menghapus batas hanya karena merasa paling peduli.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *