Idul Adha: Daging Melimpah, Akal Kita Jangan Sampai Kempes!
Oleh: didin gonggong, aktivis warung kopi
Harian Kuningan – Idul Adha, kawan-kawan sekalian, ini bukan sekadar libur panjang buat bakar-bakar sate atau numpuk gajih di perut. Ini hari raya kurban! Di mana para hamba Tuhan yang sedikit berpunya, biar rezeki enggak cuma numpang lewat di dompet tapi mampir juga ke surga, dengan gagah berani menyembelih sapi, kambing, atau kerbau. Niatnya mulia biar dapat pahala sunah setumpuk gunung.
Nah, persoalannya muncul setelahnya, Saudara-saudari. Begitu hewan-hewan itu sukses disembelih dan dicincang, tiba-tiba kita dihadapkan pada kenyataan yang tak kalah dahsyat dari suara takbir, daging melimpah ruah.Melimpah sampai bikin pusing tujuh keliling. Ibaratnya, kalau di film-film kolosal, ini adegan pasukan berkuda datang membawa karung-karung berisi protein hewani.
Di sinilah tantangan sesungguhnya bermula. Bagaimana caranya agar daging yang berlimpah ini jadi berkah, bukan malah jadi musibah. Jangan sampai niat baik kurban malah berujung pada penderitaan, baik itu penderitaan perut begah atau penderitaan hati karena melihat ketimpangan. Yang terjadi dua fenomena ‘Kelebihan Gizi’ dan ‘Kelaparan Hati’.
Coba perhatikan kedua fenomena yang sering terjadi. Di satu kampung, daging kurban numpuk sampai setiap rumah sudah mirip gudang Bulog daging. Ada yang dapat tiga kantong plastik kresek hitam, ada yang lima, bahkan mungkin ada yang satu ember penuh! Akhirnya apa? Daging sate sudah bosan, rendang sudah muak, tongseng sudah muntah. Yang terjadi, tensi naik, kolesterol melambung, dan kita pun mulai merasa bersalah pada tubuh sendiri. Dari niat berbagi pahala, kok malah jadi berbagi penyakit? Sungguh ironis.
Sementara itu, di kampung sebelah, atau mungkin di gang yang sedikit nyempil dari hiruk-pikuk kota, Idul Adha cuma jadi ajang nonton TV. Jangankan dapat daging kurban, mencium bau sate saja sudah syukur alhamdulillah. Jumlah yang berkurban minim sekali, sehingga jatah daging yang sampai ke sana itu pun cuma seupil. Akibatnya, yang satu kelebihan sampai sakit perut, yang satu kekurangan sampai keroncongan dan kekurangan protein hewani. Ini namanya, fenomena ‘kelebihan gizi’ di satu sisi dan ‘kelaparan hati’ di sisi lain.
Dua-duanya sama-sama bikin masalah, bukan? Yang kebanyakan daging, setelah kenyang berlebihan, timbul masalah kesehatan. Yang kekurangan ya jelas, gizinya jadi kembang kempis. Padahal niat kurban ini kan mulia, ingin berbagi kebaikan. Kok jadi begini? Ini bukan soal kurang ikhlas, tapi kurang cerdas dalam mengelola.
Mari berpikir cerdas, bukan cuma tumpuk daging! Maka dari itu, wahai para dermawan dan panitia kurban sekalian, mari kita pakai sedikit akal sehat kita. Jangan sampai daging kurban ini cuma muter-muter di lingkaran yang itu-itu saja. Kita harus punya strategi distribusi yang lebih tajam dari pisau jagal.
Pertama, coba deh, sesekali survei ke daerah-daerah pinggiran. Di mana itu kampung yang warganya jarang lihat sapi selain di televisi? Di mana itu daerah yang protein hewani cuma datang setahun sekali, itu pun kalau ada yang ingat? Daging yang melimpah dari kota-kota besar itu, kalau bisa, ya diangkut ke sana. Jangan cuma numpuk di masjid-masjid mewah yang jamaahnya sudah pada kenyang.
Kedua, koordinasi antar panitia kurban, antar masjid, antar lembaga. Jangan sampai ada “Monopoli Daging” di satu wilayah. Kalau perlu, bikin semacam “Bursa Daging Kurban Nasional”, biar semua tahu siapa yang punya kelebihan dan siapa yang kekurangan. Bahkan kalau perlu, daging yang melimpah itu diproses jadi kornet atau rendang kemasan. Ini namanya inovasi, biar daging kurban itu bisa dinikmati lebih lama dan jangkauannya lebih luas.
Intinya, Idul Adha ini adalah momentum untuk menegakkan keadilan, bahkan dalam urusan daging kurban sekalipun. Jangan sampai yang kaya makin begah, yang miskin makin kurus. Mari kita pastikan, bahwa setiap potong daging kurban itu bukan sekadar pahala yang ditransfer ke akhirat, tapi juga berkah yang terasa di dunia, merata, dan menyehatkan bagi seluruh umat. Agar Idul Adha kita benar-benar jadi perayaan yang sempurna, tak hanya di mata Tuhan, tapi juga di mata sesama manusia.