News

Taufik Nurrohim: Kerja Lebih, Dapat Kurang: Jawa Barat Jadi Korban Ketimpangan Fiskal Nasional

Harian Kuningan – Ketimpangan fiskal yang dialami Provinsi Jawa Barat kembali menjadi sorotan. Anggota Komisi III DPRD Jawa Barat dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Taufik Nurrohim, menegaskan pentingnya penataan ulang relasi fiskal antara pemerintah pusat dan daerah.

Ia menyebut Jawa Barat sebagai provinsi dengan beban pelayanan tertinggi namun dukungan fiskal yang justru paling minim.

“Jawa Barat hari ini adalah representasi nyata dari provinsi yang bekerja lebih keras, memikul lebih berat, namun menerima lebih sedikit,” ujar Taufik dalam keterangannya, Senin (20/5/2025).

Pernyataan ini menyusul pernyataan tegas Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi dalam Rapat Kerja Komisi II DPR RI pada 29 April lalu. Gubernur menyatakan bahwa satu desa di Jawa Barat bisa melayani hingga 150 ribu warga, namun tetap menerima Dana Desa dalam jumlah yang sama dengan desa berpenduduk hanya 2.000 jiwa. Situasi ini dinilai tidak masuk akal dan mencerminkan ketimpangan struktural dalam sistem fiskal nasional.

Taufik menilai kondisi tersebut sebagai bentuk ketidakadilan fiskal yang nyata dan terukur. Berdasarkan data tahun 2024–2025, Jawa Barat memiliki jumlah penduduk terbesar di Indonesia, yakni lebih dari 50 juta jiwa. Namun, jumlah kabupaten/kota dan desa/kelurahan di provinsi ini jauh lebih sedikit dibandingkan provinsi tetangga seperti Jawa Tengah dan Jawa Timur, menyebabkan rasio penduduk per desa sangat tinggi dan membebani pelayanan publik.

Tak hanya itu, alokasi Dana Desa untuk Jawa Barat tahun 2025 hanya sebesar Rp6,69 triliun—lebih rendah dari Jawa Tengah (Rp9,37 triliun) dan Jawa Timur (Rp9,12 triliun). Dana Alokasi Umum (DAU) untuk pemerintah provinsi juga tercatat lebih kecil, yakni Rp3,10 triliun, dibandingkan Jawa Tengah (Rp3,68 triliun) dan Jawa Timur (Rp4,20 triliun).

Ketimpangan makin nyata dalam alokasi Dana Bagi Hasil (DBH) Pajak Penghasilan (PPh 21). Meski menjadi pusat industri nasional dengan jutaan buruh di kawasan Karawang, Bekasi, dan Subang, sebagian besar penerimaan pajak dari PPh 21 justru masuk ke DKI Jakarta karena NPWP perusahaan masih terdaftar di sana.

“Ini bertentangan dengan prinsip benefit taxation. Jawa Barat yang menanggung beban sosial dan infrastruktur, tapi provinsi lain yang menikmati penerimaan fiskalnya,” tegas Taufik.

Enam Langkah Strategis Koreksi Ketimpangan

Taufik mengusulkan enam langkah strategis yang perlu segera diambil pemerintah pusat:

  1. Revisi formula Dana Desa agar memasukkan jumlah penduduk sebagai faktor utama.
  2. Reformasi DBH PPh 21 agar dibagikan berdasarkan lokasi aktivitas ekonomi, bukan NPWP perusahaan.
  3. Revisi Permendagri No. 1/2017 agar pemekaran desa padat tidak terhambat aturan usia desa induk.
  4. Regulasi baru penataan kecamatan yang memungkinkan penyesuaian batas administratif berbasis kebutuhan fungsional.
  5. Reformulasi DAU dengan bobot lebih besar pada kepadatan penduduk dan angka kemiskinan absolut.
  6. Evaluasi moratorium pemekaran daerah secara selektif untuk wilayah padat seperti Garut Selatan dan Bogor Timur.

Menurutnya, ketimpangan tersebut bukan hanya soal dana, melainkan soal ketimpangan dalam pengakuan dan keberpihakan kebijakan negara.

“Jika rakyat Jawa Barat menyumbang lebih besar, negara harus hadir lebih kuat dan lebih adil,” tutup Taufik.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *