OPINI

Situs Cipari: Warisan Megalitik yang Terlupakan di Reruntuhan Ingatan Bangsa

Oleh MJ.Wijaya
NU SUDRA

“A nation that forgets its past has no future.” – Winston Churchill

Harian Kuningan – Di kaki Gunung Ciremai yang sejuk, tersembunyi dalam sunyi dan kesepian, berdirilah sebuah situs purbakala bernama Situs Cipari. Terletak di Desa Cipari, Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan, situs ini adalah salah satu warisan megalitik paling penting di tanah Sunda, bahkan di Nusantara. Namun ironisnya, ia bukanlah bagian dari arus utama kesadaran sejarah bangsa. Situs Cipari adalah nisan sunyi bagi peradaban yang terpinggirkan oleh arus pembangunan, kebijakan yang amnesia, dan kurikulum pendidikan yang terlalu Jakarta-sentris.

Menggali Masa Lalu, Menggugat Masa Kini

Situs Cipari merupakan kompleks permukiman prasejarah yang diperkirakan berasal dari zaman Neolitikum hingga Megalitikum (1.000 SM – 500 M). Ditemukan pertama kali pada tahun 1972 saat warga menggali pondasi rumah, temuan ini membuka lembaran penting tentang dinamika kebudayaan masa silam di wilayah Jawa Barat. Terdapat struktur batu menhir, dolmen, sarkofagus, dan artefak tembikar, yang menunjukkan adanya sistem kepercayaan, pemujaan terhadap leluhur, dan teknologi awal pertanian. Pada tahun 1975, situs ini mulai diteliti dan dilestarikan oleh Balai Arkeologi Bandung dan kini dikelola oleh BPCB Banten.

Namun sayangnya, keberadaan situs ini hanya menjadi catatan kaki dalam buku sejarah dan brosur wisata kabupaten. Ia tidak masuk ke dalam kesadaran publik nasional, apalagi menjadi ikon peradaban sebagaimana Borobudur atau Trowulan. Situs Cipari adalah cermin retak dari cara kita memandang sejarah—dengan kacamata sempit, elitis, dan kolonialistik.

Ironi Warisan Budaya dalam Negara Pembangunan

Negara yang mengklaim berbudaya, tetapi membiarkan warisan leluhurnya terbengkalai, sedang menuju krisis jati diri. Situs Cipari hanya dikunjungi sekitar 10.000 orang per tahun, menurut data Dinas Pariwisata Kabupaten Kuningan. Bandingkan dengan Candi Borobudur yang mampu menyedot lebih dari satu juta pengunjung per tahun. Padahal, nilai edukatif dan antropologis Cipari tidak kalah penting.

Menurut Dr. Edi Sedyawati, arkeolog senior dan mantan Direktur Jenderal Kebudayaan, “Situs Cipari adalah bukti bahwa masyarakat agraris dan spiritual telah tumbuh di tatar Sunda jauh sebelum kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha masuk. Tapi sayangnya, warisan seperti ini hanya menjadi objek pelengkap dalam agenda wisata lokal.”

Tentu, ini bukan hanya masalah pariwisata, melainkan masalah peradaban. Ketika warisan seperti Cipari dilupakan, sesungguhnya kita sedang mencabut akar pohon sejarah kita sendiri. Kita membiarkan narasi besar sejarah Indonesia dikendalikan oleh pusat kekuasaan, sementara daerah hanya menjadi pinggiran yang dikisahkan sambil lalu.

Pendidikan yang Amnesia, Negara yang Buta Akar

Situs Cipari seharusnya menjadi bagian dari pembelajaran sejarah dan budaya lokal di sekolah-sekolah Jawa Barat. Namun, dalam kenyataannya, ia nyaris tak pernah muncul dalam buku teks atau materi pembelajaran sejarah. Anak-anak di Kuningan pun lebih kenal dengan tokoh-tokoh sinetron Jakarta daripada dengan situs purbakala yang berdiri di desa mereka sendiri. Inilah tragedi epistemologis kita—bangsa yang mengabaikan sumber pengetahuannya sendiri.

Filsuf Jerman, Martin Heidegger pernah menulis, “The forgetting of Being is the oblivion of the truth of Being.” Dalam konteks Indonesia, pelupaan terhadap situs seperti Cipari adalah pelupaan terhadap “kita” sebagai makhluk historis. Kita membiarkan diri kita tercerabut dari sejarah, dan akibatnya, kehilangan orientasi di masa kini.

Menagih Kesadaran: Dari Pemerintah hingga Intelektual

Pemerintah pusat dan daerah, akademisi, serta para pemikir kebudayaan harus mengambil sikap tegas: warisan budaya bukan beban, melainkan fondasi. Situs Cipari harus diangkat sebagai kawasan konservasi dan pendidikan publik. Ia harus dikaji ulang secara komprehensif, dilibatkan dalam narasi sejarah nasional, dan dijadikan pusat kajian prasejarah Nusantara. Jangan lagi membiarkan situs seperti Cipari menjadi “museum bisu” tanpa narasi, tanpa perhatian, tanpa pelibatan komunitas.

Di era digital, situs seperti Cipari juga bisa menjadi kekuatan ekonomi dan budaya. Negara-negara seperti Jepang dan Korea Selatan mampu mengangkat situs-situs sejarah lokal mereka sebagai sumber identitas nasional yang membanggakan. Mengapa kita tidak?

Penutup: Melawan Lupa, Merawat Ingatan

Situs Cipari bukan hanya batu dan tanah; ia adalah saksi peradaban. Ia adalah warisan spiritual, sosial, dan intelektual masyarakat Sunda kuno. Melupakan Cipari sama saja dengan mengkhianati leluhur dan mengabaikan jati diri bangsa.

Mari kita lawan lupa. Mari kita rawat ingatan. Sebab bangsa yang besar bukan hanya yang membangun gedung pencakar langit, tetapi yang menghormati pondasi leluhurnya.

Buana panca tengah
18 mei 2025

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *