OPINI

Reformasi yang Tak Pernah Lahir Sepenuhnya: 21 Mei dalam Cermin Kekuasaan yang Gagal Berkaca

Oleh: MJ.Wijaya
NU SUDRA

Harian Kuningan – Tanggal 21 Mei 1998 disakralkan dalam sejarah politik Indonesia sebagai momentum Reformasi. Presiden Soeharto, tokoh paling kuat dalam sejarah pasca-kemerdekaan, resmi mengundurkan diri setelah 32 tahun berkuasa. Namun, apakah Reformasi benar-benar telah terjadi? Ataukah ia hanyalah perubahan kosmetik di tubuh kekuasaan yang sama-sama oligarkis?

Reformasi seharusnya bermakna perubahan sistemik dan struktural. Namun 26 tahun setelah Soeharto turun, kita menyaksikan kemunduran demokrasi yang mengkhawatirkan. Lembaga riset internasional seperti Freedom House (2024) menurunkan status Indonesia dari “free” menjadi “partly free”, dengan alasan meningkatnya represi terhadap oposisi, pelemahan KPK, dan dominasi dinasti politik.

Apa yang terjadi pasca-21 Mei bukanlah revolusi mental, melainkan rotasi elit. Oligarki tetap bercokol dalam wajah baru. Jeffrey Winters dalam Oligarchy and Democracy in Indonesia (2011) menyatakan bahwa Indonesia pascareformasi adalah “oligarki elektoral”—kekuasaan tetap terkonsentrasi di tangan segelintir orang, kini dengan legitimasi pemilu.

Ironisnya, para tokoh yang dulu berdiri di barikade mahasiswa, kini justru menjadi bagian dari kemunduran itu sendiri. Demokrasi direduksi menjadi seremoni lima tahunan, bukan budaya berpikir dan berpolitik. Kita melihat bagaimana hukum dipermainkan, oposisi dijinakkan, dan kampus dibungkam dengan dalih netralitas.

Sebagaimana dicatat oleh ilmuwan politik Edward Aspinall, “Indonesia menunjukkan kemajuan demokratis yang mencolok pasca-1998, namun juga sekaligus konsolidasi kekuasaan yang mencemaskan.” (Journal of Democracy, 2010). Dengan kata lain, 21 Mei telah gagal menjadi hari kelahiran tatanan baru. Ia lebih menyerupai transisi setengah hati dari diktator militer ke demokrasi semu.

Korupsi yang dulu menjadi alasan utama reformasi, justru menggurita dalam bentuk yang lebih canggih. Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia versi Transparency International terus memburuk: dari skor 40 pada 2019 menjadi 34 pada 2023. Lembaga antikorupsi dilemahkan secara sistematis lewat revisi UU KPK, sementara pelanggaran HAM masa lalu tetap tidak tersentuh.

Apakah kita merayakan Reformasi, atau sekadar memperingatinya seperti mengenang kematian yang tak pernah mendapat keadilan?

21 Mei harus dilihat bukan sebagai selebrasi, tetapi sebagai hari berkabung atas cita-cita yang dikubur hidup-hidup. Mahasiswa yang dibunuh di Trisakti dan Semanggi belum mendapatkan keadilan. Rakyat kecil tetap menjadi korban pembangunan yang memihak elite. Dan kampus, tempat lahirnya idealisme, telah berubah menjadi pabrik sertifikasi.

Reformasi tidak pernah gagal. Ia hanya dibajak.

Maka peringatan 21 Mei bukanlah momen nostalgia, melainkan alarm intelektual untuk menyadarkan kita semua: bahwa demokrasi bukanlah sistem yang jatuh dari langit, tapi perjuangan yang harus terus diperjuangkan—melawan musuh yang kini mengenakan jas, bukan seragam militer.

Dan jika kita diam, sejarah akan mencatat: generasi ini telah mengkhianati semangat reformasi.

Alas mentaok.
21 mei 2025

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *