Jabar Istimewa Hanya Slogan Kosong, Tidak Dengan Birokrasinya

Harian Kuningan – Kepala Satuan Koordinasi Wilayah (Kasatkorwil) Banser Jawa Barat, Yudi Nurcahyadi, melontarkan kritik tajam terhadap kinerja Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Kritik tersebut merespons hasil Survei Indikator yang menunjukkan adanya jurang menganga antara popularitas Gubernur Jawa Barat (KDM) dan rendahnya tingkat kepuasan publik terhadap kinerja birokrasi Pemprov Jabar.
Menanggapi hal tersebut, Yudi menilai itu merupakan alarm untuk Gubernur Jawa Barat. Ia mempertanyakan apa yang tengah terjadi secara struktural dan birokrasi.
“Ini alarm serius. Gubernurnya populer, tapi pemerintahannya tidak dipercaya. Artinya ada yang salah secara struktural dan birokratis,” ujar Yudi, Rabu (28/5/2025).
Menurut Yudi, kesenjangan tersebut mengindikasikan bahwa KDM lebih sibuk mengurus pencitraan pribadi ketimbang memastikan roda pemerintahan berjalan efektif.
“KDM terlihat sangat aktif dalam aktivitas populis yang mendulang simpati publik. Tapi publik merasakan, layanan dan kebijakan pemerintah justru stagnan,” katanya.
Yudi menilai, visi Jabar Istimewa hanya akan menjadi slogan kosong jika tidak didukung oleh birokrasi yang solid, disiplin, dan terarah.
“Visi itu butuh mesin. Kalau mesinnya mogok, mau dibawa ke mana Jabar?” ujarnya.
Untuk membenahi kinerja birokrasi, Yudi mengusulkan langkah tak biasa: mengirim Sekretaris Daerah (Sekda) dan pejabat utama Pemprov Jabar ke barak militer.
“Barakisasi perlu dilakukan. Ini bukan sekadar simbolik. Tapi untuk membentuk ulang etos kerja, kedisiplinan, dan loyalitas mereka terhadap agenda publik, bukan agenda pribadi,” tegasnya.
Ia mengibaratkan Sekda sebagai ‘kepala dapur’ pemerintahan yang harus mampu meracik kebijakan dan strategi sesuai arahan Gubernur.
“Kalau kokinya asal-asalan, makanan yang disajikan pun kacau. Kalau Sekda dan Gubernur tidak satu frekuensi, yang rugi rakyat,” imbuhnya.
Yudi juga menyinggung tingginya angka kemiskinan di Jawa Barat, yang menurutnya ironis dengan citra KDM sebagai pemimpin yang dekat dengan rakyat miskin.
“Ini kontradiktif. Gubernurnya rajin berswafoto memberi bantuan, tapi angka kemiskinan tak kunjung turun. Jangan-jangan rakyat miskin hanya dijadikan bahan konten untuk menaikkan citra,” sindirnya.
Menurutnya, pendekatan populis semacam itu justru berbahaya jika tidak dibarengi kerja nyata yang berdampak sistemik.
“Yang dibutuhkan rakyat adalah program pengentasan kemiskinan yang berkelanjutan, bukan sensasi sebar-sebar uang lalu unggah di media sosial,” tegas Yudi.
Menutup pernyataannya, Yudi menyerukan agar Gubernur lebih fokus pada agenda substansial ketimbang pencitraan.
“Popularitas boleh tinggi, tapi kalau birokrasi rusak dan angka kemiskinan stagnan, itu kegagalan struktural. Ini saatnya KDM menunjukkan bahwa ia benar-benar pemimpin, bukan sekadar selebritas politik,” pungkasnya.