OPINI

25 Mei: Luka Global Bernama Anak yang Hilang

Oleh: MJ.Wijaya
NU SUDRA

Harian Kuningan– Setiap tanggal 25 Mei, dunia memperingati International Missing Children’s Day, hari yang tak sekadar menjadi pengingat, tetapi juga tamparan moral bagi peradaban yang gagal menjaga buah hatinya sendiri. Anak-anak yang hilang bukan sekadar statistik kering dalam lembaran laporan internasional, tetapi potret retak kemanusiaan global yang membiarkan anak-anak terbuang dalam pusaran eksploitasi, perdagangan, dan kelalaian sistemik.

Menurut data dari International Centre for Missing & Exploited Children (ICMEC), lebih dari 8 juta anak dilaporkan hilang setiap tahunnya di seluruh dunia. Amerika Serikat mencatat sekitar 460.000 laporan anak hilang tiap tahun, sedangkan di India, diperkirakan 180 anak menghilang setiap hari. Di Indonesia, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat bahwa laporan anak hilang yang masuk setiap tahun bisa mencapai ribuan, meskipun angka pastinya sering kali kabur karena lemahnya sistem pencatatan dan tindak lanjut yang tumpul.

Namun yang lebih menyakitkan dari sekadar angka adalah kenyataan bahwa sebagian besar kasus tidak pernah menemukan ujung. Banyak anak yang hilang kemudian tenggelam dalam jaringan perdagangan manusia, eksploitasi seksual, buruh paksa, hingga radikalisasi bersenjata. Peringatan 25 Mei bukanlah hari seremonial, melainkan hari penyesalan kolektif atas kegagalan negara, masyarakat, dan keluarga.

Mereka hilang bukan karena semata takdir, melainkan karena dunia ini terlalu sibuk menjaga kuasa dan modal, tapi lupa menjaga manusia kecil bernama anak-anak. Seperti dikatakan oleh Kailash Satyarthi, peraih Nobel Perdamaian asal India: “The biggest crime is our silence when children are being exploited.” Maka diam kita adalah bentuk persetujuan terhadap sistem yang membiarkan anak-anak menghilang tanpa jejak.

Ironi yang menggigit adalah bahwa di banyak negara, anggaran pertahanan atau pemilu bisa mencapai triliunan, namun anggaran untuk pelacakan dan perlindungan anak-anak hilang seringkali minim, tercecer, atau terjebak dalam birokrasi tak bertanggung jawab. Di Indonesia, upaya membentuk National Center for Missing Children yang terkoordinasi, berjejaring, dan profesional masih sebatas mimpi di atas kertas putih.

Kita tidak hanya sedang memperingati anak-anak yang hilang secara fisik, tetapi juga hilangnya kepekaan sosial, hilangnya tanggung jawab negara, dan hilangnya nyawa-nyawa kecil yang mestinya dijaga oleh payung hukum dan cinta kasih. Jean-Jacques Rousseau dalam bukunya Émile, ou De l’éducation menyatakan bahwa “anak adalah manusia seutuhnya, bukan sekadar calon manusia.” Maka kehilangan anak adalah kehilangan masa depan bangsa.

Hari ini, 25 Mei, mestinya menjadi momentum untuk menginterogasi ulang semua sistem pengawasan anak di sekolah, di ruang publik, hingga di rumah tangga. Di era digital ini, anak-anak bahkan bisa “hilang” dalam layar, diburu predator daring yang lebih cepat daripada polisi. Belum lagi anak-anak yang “hilang” dalam arti sosial—yang tidak dicari, tidak dibela, dan tidak dianggap.

Peringatan ini tak perlu diisi dengan karangan bunga atau balon warna-warni. Ia perlu diisi dengan amarah, tekad, dan revolusi sistem pelindung anak. Dunia yang membiarkan anak-anak hilang tanpa jejak adalah dunia yang tak layak hidup.

Buana panca tengah.
25 mei 2025

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *